- Back to Home »
- Miscellaneous »
- Eksistensi Nilai Tradisi Baratan
Posted by : Unknown
Monday, June 15, 2015
Tradisi
Baratan,
Sebuah
Refleksi Diri Menyambut Bulan Suci
Menjelang bulan
Ramadhan beberapa minggu lagi, masyarakat Kalinyamatan, Jepara memiliki tradisi
tersendiri dalam menyambut bulan suci tersebut, yakni berupa arak-arakan
lampion (impes), tradisi karnaval ini dikenal dengan nama pesta Baratan
yang biasa dilaksanakan pada 15 hari sebelum bulan Ramadhan, atau disebut malam
Nisfu Sya’ban, pada tahun ini akan jatuh pada Senin (01/06/15) malam.
Istilah Baratan
berasal dari bahasa arab “Baraah” yang berarti keselamatan, atau juga
berasal dari kata “Barakah” yang bermakna keberkahan, tradisi menyambut bulan
Ramadhan ini mewakili ekpresi rasa syukur terkait dengan malam Nisfu Sya’ban
sebagai malam pergantian buku catatan amal perbuatan manusia untuk ditutup dan
diganti dengan buku catatan yang baru, atau juga sebagai persiapan menghadapi
bulan Ramadhan sehingga diharapkan hati selalu bersih dari segala dosa.
Dalam
pelaksanaanya, Tradisi Baratan dipusatkan di Masjid Al-Makmur di Desa Kriyan,
Kalinyamatan, dengan ritual yang cukup sederhana yakni diawali setelah sholat
Maghrib, dimana masyarakat setempat tidak langsung pulang seperti biasanya,
tetapi tetap menunggu dan berkumpul di masjid untuk berdoa bersama, pembacaan
surat Yasin tiga kali dilanjutkan shalat Isya’ berjamaah. Kemudian memanjatkan
do’a Nisfu Sya’ban dipimpin ulama’/kyai setempat, yang dulu selalu
dipimpin oleh KH.Nur Ahmad, SS Alm atau KH,Mudhofar Fathurrohman Alm. Setelah
itu makan bersama (bancaan) nasi puli, setelah itu sebagai acara
puncaknya adalah melepas arak-arakan lampion.
Nasi puli dalam
Tradisi Baratan memiliki makna tersendiri, pak Yasin, BA -salah satu guru di MA
Nurul Islam, Kriyan mengatakan bahwa istilah “puli” berasal dari bahasa arab
“Afwu Lii” yang berarti maafkanlah aku, nasi puli sendiri adalah nasi yang
terbuat dari bahan beras dan ketan yang ditumbuk halus dan dimakan dengan
kelapa yang yang dibakar atau tanpa dibakar.
Berbicara mengenai
sejarah Tradisi Baratan, berbagai sumber mengatakan bahwa asal-usul tradisi
masyarakat jepara ini masih erat hubungannya dengan keberadaan Ratu Kalinyamat
yang merupakan puteri raja Demak Sultan Trenggana, yang menjadi bupati di
jepara. Ada tiga versi berkaitan dengan asal-usul tradisi Baratan.
Pertama, Sultan Hadirin berperang melawan Aryo
Penangsang dan terluka. Kemudian sang isteri Nyai Ratu Kalinyamat membawanya
pulang ke Jepara dengan dikawal prajurit dan dayang-dayang. Banyak desa di
sepanjang yang dilewati rombongan diberi nama peristiwa menjelang wafatnya
Sultan Hadirin. Salah satu contohnya adalah saat rombongan melewati suatu desa,
mendadak tercium bau harum semerbak (gondo) dari jasad Sultan, maka desa
tersebut sekarang kita kenal dengan nama Purwogondo. Sebelumnya, rombongan
melewati suatu desa, karena keadaan Sultan kritis, salah satu prajurit ditugasi
menyerahkan pesan secepatnya ke kerajaan yang ditulis dengan bambu (pring),
lalu desa tersebut sekarang disebut dengan desa Pring Tulis.
Versi kedua, setelah
berperang melawan Aryo Penangsang, sultan Hadirin tewas dan jenazahnya dibawa
pulang oleh isterinya, Ratu Kalinyamat pulang ke Jepara. Peristiwa itu
berlangsung malam hari, sehingga masyarakat disepanjang jalan yang ingin
menyaksikan dan menyambut rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat
penerangan berupa obor bagi kaum bangsawan dan orang cina membawa lampion.
Versi terakhir
mengatakan setiap 15 hari sebelum Ramadhan (Nisfu Sya’ban) selalu diperingati
dengan menyalakan lilin atau obor di depan rumah dan anak muda membawa obor
mengelilingi kampung, karena dahulu belum ada listrik, dan juga karena Nisfu
Sya’ban merupakan penutupan buku catatan amal umat Islam, maka dengan
dinyalakan obor di depan rumah dan membawa obor keliling kampung harapannya
catatan amal warga sekampung diharapkan terang alias baik.
Merawat dan Meruwat Tradisi Baratan
6 tahun belajar di
desa Kriyan, saya mengenal betul acara tahunan ini, antusiasme warga tak hanya
terlihat oleh warga Kriyan saja, desa tetangga seperti Robayan, Sendang,
Margoyoso dan Purwogondo pun ikut meramaikan acara. Rute arakan lampion beserta
figur ratu kalinyamat dan para dayang menunggangi kereta kencana diawali dari
masjid Al-Makmur menuju arah selatan, sampai jalan raya lalu berlanjut ke arah
timur sampai pertigaan gotri lalu kearah utara sampai makam yek endhe, terakhir
menuju barat hingga kembali ke titik awal yaitu masjid Al-Makmur.
Figur ratu
Kalinyamat pun tidak main-main diperankan oleh sembarang wanita, ada seleksi
ketat dari seniman, sejarawan, tetua masyarakat (sesepuh), dan juri yang
berkompeten. Lalu, figur ratu kalinyamat yang terpilih diharuskan melakukan
serangkaian ritual berupa puasa dan semedi sebagai suatu izin terhadap mendiang
ratu kalinyamat yang telah tiada.
Tradisi Baratan
yang unik ini lambat laun mengalami degradasi esensi, masyarakat memang ikut
serta dalam acara puncak berupa arakan lampion, namun hanya sedikit orang yang
ikut dari pembacaan yasin tiga kali dan berdo’a Nisfu Sya’ban bersama,
terlebih remaja dan anak muda. Lebih jauh acara ini disalahgunakan sebagai
ajang cari perhatian dan pdkt (pendekatan) dengan lawan jenis, karena
memang dalam arakan lampion ini banyak remaja tumpah-ruah yang kebanyakan masih
sekolah SMP atau SMA. Mereka memaknai tradisi Baratan ini sebagai momen yang
tepat untuk mencari tambatan hati.
Padahal tradisi
Baratan memiliki pesan bijak sebagai suatu persiapan menuju bulan Ramadhan
dengan saling memaafkan dan mensucikan hati. Serta penguatan iman kepada tuhan
dan ihsan antar sesama makhluk. Oleh karena itu, perlu adanya rekonsiliasi
esensi pada tradisi Baratan ini melalui bentuk pendidikan dan penuturan pada
masyarakat umum, agar tradisi unik ini dapat terawat dan terjaga eksistensi
nilainya dalam masyarakat.