- Back to Home »
- Miscellaneous »
- Makalah Akhlak Tasawwuf
Posted by : Unknown
Tuesday, April 7, 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis akhlak tasawwuf adalah pemandu
perjalanan hidup umat manusia agar selamat dunia dan akhirat, itu di karenakan
Akhlak Tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang
kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Tidaklah berlebihan jika misi
utama kerasulan Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan
sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara
lain karena dukungan akhlaknya yang istimewa.
Melihat betapa pentingnya akhlak tasawuf dalam
kehidupan ini tidaklah mengherankan jika akhlak tasawuf ditentukan sebagai mata
kuliah yang wajib diikuti oleh kita semua. Sebagai upaya untuk menanggulangi
kemerosotan moral yang tengah dialami bangsa ini. Untuk mengungkap segala
permasalahan yang terkait dengan Akhlak Tasawuf, kami akan mencoba
menguraikannya dalam makalah yang berjudul “Pengertian Akhlak Tasawuf, Sejarah
Perkembangan Tasawuf, dan Fungsi Tasawuf”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
disampaikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yakni :
1.
Apa yang dimaksud dengan akhlak
tasawuf ?
2.
Apa dalil naqli menyangkut akhlak tasawuf?
3.
Apa sejarah perkembangan tasawuf?
4.
Apa fungsi akhlak tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Akhlak Tasawuf
Sebelum lebih jauh membahas tentang
asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian singkat sufi dan tasawuf.
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa
tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni. Karena
memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan dari setiap tindakan dan
ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk
membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT.[1]
Ada lagi yang mengatakan tasawuf
berasal dari kata saff, artinya saff atau baris. Mereka dinamakan sebagai para
sufi, menurut pendapat ini, karena berada pada baris (saff) pertama di depan
Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia, kecenderungan hati mereka
terhadap-Nya.
Ada pula yang mengatakan bahwa
tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid, artinya serambi mesjid.
Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh
sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat
tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah. Mereka adalah orang yang
menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usaha-usaha
duniawi. Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka menyamai
sifat orang-orang yang tinggal di serambi mesjid (suffah) yang hidup pada masa
nabi SAW.
Sementara pendapat lain mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini karena
mereka (para sufi) tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah
dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian
yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar
(suf).
Sedangkan tasawuf menurut beberapa
tokoh sufi adalah seperti berikut:
1.
Bisyri bin Haris mengatakan bahwa
sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
2.
Sahl at-Tustari mengatakan bahwa
sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus
hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT, dan baginya tiada beda
antara harga emas dan pasir.
3.
Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H),
tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat
yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat
basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi
kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama
atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati
janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.
4.
Abu Qasim Abdul Kari mal-Qusyairi
memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan
sunah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan
syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah.
5.
Abu Yazid al-Bustami secara lebih
luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan
diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang
terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).[2]
Akhlak dan Tasawuf saling
berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara
sesama manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertical antara
manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga
dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak. Hubungan akhlak dan tasawuf tidak
bisa terpisashkan karena kesucian hati akan membentuk akhlakjyang baik pula
.Pada intinya seseorang yang masuk kedalamn dunia tasawuf hgarus munundukan
jasmani dan rohani dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dan menjaga akhlak
yang baik.
B.
Dalil mengenai akhlak tasawuf
Tasawuf Islam bersumber dari
al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. berbicara
tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya seperti
tertulis pada pendahuluan di atas.
Secara umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat
lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur
kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan
tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam,
al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya.
Lebih jauh, al-Qur’an berbicara
tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti
dalam al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8);
petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka
berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang
dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan
senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali
Imron: 3).[3]
Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata
mengharap ridha-Nya dalam beribadah (al-Bayinah: 5); berperilaku jujur
(al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6); yakin, tawakal (al-Anfal: 49);
qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37); beribadah dengan penuh
pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110), takut terhadap murka
Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu (Yusuf: 53);
amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak dan
amal diajarkan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.
Benih-benih tasawuf dipraktekkan
langsung oleh Muhammad SAW. dalam kehidupan kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat
menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada
bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan
acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah
terjadi ketika beliau melakukan Isro’ wal mi’roj. Dikisahkan Nabi berdialog
langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima waktu.
Perikehidupan (sirah) Nabi SAW juga
merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi yang sederhana, zuhud, dan
tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu do’anya nabi
bermohon:
“Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam
kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah
dan Hakim). Pada suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti
Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti
ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau menahan laparnya dengan berpuasa (HR.
Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering mengganjal perutnya dengan batu
sebagai penahan lapar.
Cara beribadah Nabi SAW juga
merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah.
Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi SAW
mengerjakan shalat malam; di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang,
banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar
suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan
Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun
melakukan shalat, Aisyah bertanya:
“Wahai junjungan, bukankah dosamu
yang terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah, kenapa engkau masih
terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi SAW menjawab: ‘Aku ingin menjadi hamba
yang banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak Nabi SAW merupakan acuan
akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi bukan hanya dipuji oleh manusia
termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. 68:4). Dan ketika Aisyah ditanya
tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab: “Akhlaknya adalah al-Qur’an”. (HR. Ahmad
dan Muslim).
Ajaran rasul tentang bersikap dan
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak diikuti oleh para sahabatnya,
dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh Muslim hingga saat
ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (Al-Ahzab: 21).
C.
Sejarah perkembangan tasawwuf
Kelahiran tasawuf sendiri memiliki banyak fersi. Secara historis, yang
pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang
bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya
ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf
itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.[4]
1.
Anggapan Adanya Pengaruh Ajaran Non Islam
Pengaruh
ajaran Kristen, yaitu adanya tulisan –tulisan tentang rahib-rahib
yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di Padang pasir Arabia
atau menempati biara-biara.
2.
Pengaruh ajaan Hindu dan Budha
Ajaran Hindu banyak
mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk lebih mendekattkan
diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman dengan Brahman. Ajaran Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang budha diwajibkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi.
Dalam tasawuf dikenal dengan konsep fana’.
3) Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu
kesenangan ruh yang sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka
untuk memperolehnya, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan
kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal denganzuhud.
4) Pengaruh filsafat emanasi Plotinus, dalam
konsep emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari
dalam wujud ini. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dalam
tasawuf dikenal dengan wahdatul wujud.
1. Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam
Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama
Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qur’an maupun hadits tentang
ajaran tasawuf. Dalam surat Al-Baqarah: 115 dijelaskan, “Dan kepunyaan Allah-lah arah
timur dan barat, maka kemanapun kalian mengarahkan (wajah kalian), di situ
ada wajah Allah”.Dalam ayat lain Allah juga menerangkan, “Telah Kami
ciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan olehnya. Kami lebih
dekat kepada manusia ketimbang pembuluh darah yang ada pada lehernya”. ( Q.S.
Qaff: 16). Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga
disebutkan hal serupa, yang artinya“Jika seorang hamba mendekatiKu
sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekatiKu sehasta, niscaya
Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekatiKu datang dengan berjalan,
niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlari”.
Selain dalil diatas, masih banyak lagi ayat Qur’an maupun hadits yang
dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu, terlepas dari adanya
pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan sufisme. Ini berarti
kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri.
2.
Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam
Secara historis, tasawuf telah mengalami banyak perkembangan melalui
beberapa tahap sejak pertumbuhannya hingga sekarang. Pada sejarah umat
Islam, ada peristiwa tragis, yaitu terbunuhnya khalifah Usman bin Affan.
Dari peristiwa itu, terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Akhirnya para
ulama’ dan para sahabat yang masih ada, berpikir dan berikhtiar untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam, mengenai hidup zuhud dan lain sebagainya. Inilah
yang menjadi awal timbulnya benih tasawuf ang paling awal.[5]
a.
Abad I dan II Hijriyah
Pada tahap ini, tasawuf masih berupa zuhud. Yaitu
ketika sekelompok kaum muslim memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya
pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar kepentingan akhirat. Tokohnya antara
lain:
1)
Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H)
2)
Rabi’ah Al-Adawiyah (w. 185 H).
b.
Abad III dan IV Hijriiyah
Pada abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase
tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa permulaan abad ketiga
hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama
kegiatan ruhani mereka tidak semata – mata kebahagian akhirat yang ditandai
dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati
hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa
konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana
fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan
yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi perbedaan
tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini berdiri lembaga pendididkan yang khusus mengajarkan
pendidikan cara hidup sufisik dalam bentuk tarekat. Kemudian
dari beberapa tokoh lain muncul istilah fana`, ittihad dan
hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi
kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah
kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing
bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah
masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.[6] Tokoh-tokohnya
adalah:
1)
Abu Yazid Al-Busthami (w.261 H)
2)
Al-Junaid
3)
Al-Sari Al-Saqathi
4)
Al-Kharraz
5)
Al-Hussain bin Manshur Al-Hallaj (w. 309 H)
c. Abad
V Hijriyah
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan
dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut
dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang
sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini
sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai
melenceng dari koridor syari’ah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh
yang paling terkenal adalah Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) atau yang lebih
dikenal dengan al-Ghzali yang menjadi acuan para tokoh sufi lainnya. Tokoh
tasawuf pada fase ini adalah:
1)
Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)
2)
Syaikh Ahmad Al-Rifa’i (w. 570 H)
3)
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 651 H)
4)
Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili (w. 650 H)
5)
Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H)
6)
Ibn Atha’illah Al-Sakandari (w. 709 H). [7]
d. Abad
VI Hijriyah
Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni
tasawuf yang memadukan antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf
bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman
yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan
dalam bentuk pemikiran seperti konsepwahdah al-wujud yakni bahwa
wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang
bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayalan. Dalam aliran ini para sufi lebih
mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah. Perhatian mereka sangat
tertuju pada aspek ini, sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan. Para
tokohnya antara lain: [8]
1)
Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan
Ibnu Arabi ( 560 – 638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya.
2)
Al-Syuhrawardi Al-Maqtul (549 – 587 H.)
dengan konsepIsyraqiyahnya.
3)
Umar ibn Al-Faridh (w. 632 H)
4)
Abd Al-Haqqi ibn Sabi’in (w. 669 H)
3.
Beberapa Istilah dalam Ilmu Tasawuf
a.
Maqamat
Secara harfiah
maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal
mulia. Istilah ini
selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Seperti telah
disinggung diatas, bahwa maqam-maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri
atas:
1)
Taubat
Taubat berasal dari bahasa arab
taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud
oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai
janji yang sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut,
yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.
2)
Cemas dan harap (khauf dan raja’)
Menurut Hasan Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas atau takut
adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai
kepada Allah. Karena sering menyadari kekurang sempurnaannya dalam mengabdi
kepada Allah, timbullah rasa takut dan khawatir apabila Allah akan murka
kepadanya.
3)
Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang
bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
4)
Faqr (fakir)
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat,
butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan kaum sufi fakir adalah tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki
kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta
sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi
tidak menolak.
5)
Sabar
Secara harfiah sabar berarti tabah
hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan
cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran
dalam bidang ekonomi.
6)
Ridha (rela)
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution
mengatakan bahwa ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar
Allah. Menerima qada dan qadar Allah dengan
senang hati.
7)
Muraqabah
Kata ini mempunyai arti yang mirip
dengan introspeksi atau self correction. Dengan kalimat yang lebih populer
dapat dikatakan bahwa muraqabah adalah siap dan siaga setiap saat untuk
meneliti keadaan diri sendiri.[9]
b.
Hal
Menurut Harun
Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah
takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas
(al-Ikhlas), rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih
(al-Syukr).
Hal berlainan
dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi sebagai anugerah dan
rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara,
datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya
mendekati Tuhan.
c.
Mahabbah
Kata mahabbah
berasal dari kata ahabba, yahibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Pengertian
mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh al-Qusyairi, yaitu
bahwa mahabbah adalah keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya adalah
disaksikannya kemutlakan Allah SWT oleh hambanya, selanjutnya yang dicintainya
itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba
mencintai Allah SWT.
d.
Ma’rifah
Dari segi
bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan atau pengalaman. Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan
pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah
diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Selanjutnya
Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam
bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
e.
Fana dan Baqa
Dari segi
bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Adapun arti fana menurut
kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau
dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.menurut pendapat lain, fana
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan
dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.
Sebagai akibat
dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan baqa yang
dimaksud oleh para sufi adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia.
f.
Ittihad
Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang
dicintai telah menjadi satu. Dalam situasi Ittihad yang demikian itu, seorang
sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
g.
Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia
bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah
Hulul.
h.
Wahdat al-Wujud
Wahdat al-Wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu
wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan
al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.
Menurut pandangan para sufi, wahdat al-wujud adalah paham bahwa antara manusia
dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
i.
Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata; insan
dan kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang
sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Insan
kamil pula lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan
potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan
lainnya yang bersifat batin lainnya.
j.
Tariqat .
Dari segi bahasa tariqat berasal dari bahasa arab thariqat yang
artinya jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu. Lebih khusus lagi tariqat
di kalangan sufi berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa,
membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan
sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas semata-mata
untuk mengharapkan bertemu dan bersatu secara ruhiah dengan Tuhan.[10]
D.
Tujuan Tasawuf
Adapun tujuan tasawuf adalah:
a.
Menurut Harun Nasution, tujuan tasawuf
adalah mendekatkan diri sedekat
mungkin dengan Tuhan sehingga ia
dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh
Tuhan.
b.
Menurut K. Permadi, tujuan tasawuf
ialah fana untuk mencapai makrifatullah, yaitu leburnya diri pribadi pada
kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa ketuhanan.[11]
Dengan demikian inti dari ajaran tasawuf adalah menempatkan Allah
sebagai pusat segala aktivitas kehidupan dan menghadirkan-Nya dalam diri
manusia sebagai usaha memperoleh keridaan-Nya
BAB III
PENUTUP
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak
dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesama manusia,
sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertical antara manusia dengan
Tuhannya. Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang
mulia dan dekat dengan Allah SWT.
Akhlak dan tasawuf Islam
bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Sejarah perkembangan akhlak tasawwuf telah mengalami banyak perkembangan
melalui beberapa tahap sejak pertumbuhannya hingga sekarang. Pada sejarah
umat Islam, ada peristiwa tragis, yaitu terbunuhnya khalifah Usman bin
Affan. Dari peristiwa itu, terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Akhirnya
para ulama’ dan para sahabat yang masih ada, berpikir dan berikhtiar untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam, mengenai hidup zuhud dan lain sebagainya. Inilah
yang menjadi awal timbulnya benih tasawuf yang paling awal.
Ajaran tasawuf yang benar adalah yang tidak
mengabaikan akhlak terhadap sesama manusia. Jadi, bukan hanya hubungan vertikal
dengan Tuhan saja yang harus di bina, namun perlu juga hubungan dengan sesama
manusia dengan akhlak yang terpuji. Dalam Islam, bahwa walaupun tujuan hidup
harus diarahkan ke alam akhirat, namun setiap muslim diwajibkan untuk tidak
melupakan urusan dunianya. Setiap muslim wajib kerja keras untuk menikmati
rezeki Tuhan yang telah dihalalkan untuk umat-Nya, asal diperoleh melalui jalan
yang halal. Yakni berlomba dengan cara yang jujur dalam kebaikan (fastabiqul
khairat). Akan tetapi mengutamakan kehidupan dunia dan berpandangan
materialis-sekuler sangatlah dicela dan diharamkan dalam Islam.
Adapun urgensi
akhlak tasawwuf meliputi:
1. Supaya manusia itu mencontohi Rasulullah dalam perilaku
kehidupan sehari-hari.
2. Menyeimbangkan
lahir dan batin dunia dan akhirat.
3. Agar hati ini
teduh redup biar tidak gelisah.
4. Membuat kesadaran
sosial menjadi lebih tinggi.
[4] Noer Iskandar Al Barsany, Tasawuf Tarekat Para
Sufi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal 8-14.
[5] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal 29.
[6] Candradimuka, Muhammad Rauf http://rouf250389.blogspot.com/2014/10/sejarah-perkembangan-tasawuf.html
diunduh Ahad, 15/03/15, 11:18
[7]. Alwi Syihab, Islam Sufistik; Islam Pertama
dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan,2001), hal 32.