- Back to Home »
- My Identity »
- Mari mengenal lebih dalam! (Sebuah nama)
Posted by : Unknown
Tuesday, July 19, 2016
Namaku luthfi, biasa dipanggil mas, kak, abang, pak, gus, ustadz, kyai, mbah, syekh dsb. Begitulah mereka memanggilku, mesti ada embel-embel yg melekat sebelum nama asliku dipanggil | Aku tak memusingkan bagaimana mereka memanggilku, meski seringkali aku tersenyum dalam hati | Usia masih muda, jalan masih tegap, wajah segar tak ada keriput. Kog bisa-bisanya dipanggil pak dan mbah bahkan yg keterlaluan adalah Syekh | Anehnya panggilan tersebut aku dengar dg jelas ketika masih duduk di MTs/SMP, sekitar usia 13 tahun. Bayangkan dlm masa Puber sudah dipanggil mbah ! Lucu sekali rasanya || Aku sama sekali tak memusingkan seperti apa mereka memanggilku, sebab mereka yg menghendakinya. Toh, tak ada untung-ruginya bagiku. Beda cerita ketika panggilan tersebut bermaksud negatif berupa merendahkan dan menjelek-jelekkan | Memang, kadangkala risih dg berbagai atribut panggilan yg rasa-rasanya kurang pantas melekat, semisal dipanggil Pak Kyai. Yah, malu campur sedih menyatu | Bagaimana mungkin aku yg seperti ini, biasa-biasa saja menurutku, bisa dipanggil Kyai. Kapasitas keilmuan masih dangkal. Integritas spiritual tak seberapa. Kog bisa? | Mereka mengatakan bahwa aku sudah memiliki level kyai dan pantas dipanggil kyai. Bisa baca kitab kuning, hafal dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadis, faham Fiqh dan bahasa Arab, berwibawa, cerdas dan santun. Sangat pantas kamu dipanggil kyai, kata mereka | Lain lagi sekarang, saat kuliah, mereka sering memanggilku pak, gus atau ustadz. Pak, panggilan akrab di kelas. Gus, panggilan teman beda kelas. Ustadz, atribut baru di Kos-an | Yah, Pak, masih mending dan bisa diterima, karena lingkungan Tarbiyah (pendidikan a.k.a guru) panggilan Pak/Bu sangat wajar. Sedangkan Gus atau Ustadz? Aku kaget dan gagap menanggapinya | Aku orang biasa yg dilahirkan dlm keluarga biasa. Meskipun memang, orang tuaku luar biasa , aku tak ingin berlindung di bayang-bayang mereka. Aku ingin menjadi orang luar biasa dg caraku sendiri | Hm, ustadz memang terdengar modern dan keren. Terminologi yg biasanya berlaku di Perkotaan. Padahal aku mengukur diri tak pantas juga dipanggil seperti itu | Ya, mungkin aku lebih tahu dan faham, itu saja. Tahu teori&praktis agama, faham sudut pandang&keilmuan beraneka ragam, cuma itu ||
Persoalan atribut nama, aku sama sekali memusingkannya. Toh, yg kita perlukan adl pembuktian dan aksi nyata atas kepercayaan mereka | Memang, aku masih muda, tapi bagi mereka aku dituakan dan menjadi tetua. Dalam Al-Hikam disebut fenomena 'waridat', lain cerita dlm Sociolinguistics disebut fenomena 'power&solidarity' || Sejauh ingatanku, hanya beberapa orang yg memanggil namaku secara langsung, aku lebih senang begitu, seharusnya | Mereka spesial dg caranya memanggilku, tak perlu ada jarak antara mereka dan aku | Lebih spesial lagi orang yg memanggilku 'oppa', say, papi. Sangking dekatnya sampai muncul panggilan mesra, meskipun tak ada hubungan istimewa yg biasa disebut pacar | Mereka amat istimewa dan kadang ada perasaan ingin menjadikan mereka orang istimewa seutuhnya ||
Begitulah namaku. Luthfi yg berarti lemah-lembut, memang cocok dg sifat bawaanku yg kalem dan halus | Sifat kalem yg-katanya-bahkan melebihi perempuan normal | Bagaimana tidak halus, suara normalku saja tidak terdengar padahal hanya berjarak 1 meter dg si pendengar. Makan tak kunjung selesai-selesai padahal porsi normal, sedang bersamaan dg adikku yg makan sudah selesai | Nama adl Do'a, memang benar menurutku. Nama yg diberikan oleh orang tua, sejatinya adl sebuah pengharapan bahwa kelak ia akan seperti do'a-do'a yg disematkan dlm nama itu | Entah bagaimana dg kalian? ||
^_^ Namaku Luthfi, panggil saja sesuka hati.